Selasa, 17 September 2019

mahasiswa akhir



Mahasiswa yang sudah lulus, barangkali pernah merasakan bagaimana “indahnya” menjadi mahasiswa tingkat akhir. Seperti yang juga pernah saya rasakan. Mungkin ocehan saya dapat mewakili kawan-kawan di luar sana yang taksanggup menuliskannya.

Pernah mendengar slogan Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir? Sepertinya slogan semacam ini sudah mewabah ke seantero kampus. Bahkan orang-orang sampai membuat t-shirt yang berisi slogan tersebut. Sungguh luar biasa memang tingkat kegalauan mahasiswa tingkat akhir ini.
Membuat skripsi seperti membuat bolu. Harus dikasih adonan, telur, minyak, terigu, gula, dan sebagainya. Kalau sampai gagal memasukkan salah satu unsur adonan itu, kue bolu akan hancur. Begitu juga dengan skripsi. Tanda baca, referensi buku, tata kalimat, ejaan, harus sesuai dengan ketentuan. Jika tidak, siap-siaplah menghadapi pembantaian para dosen. Salah satu korban dari sekian banyak orang itu adalah saya. Hampir saja saya putus asa menggantung diri di pohon toge. Untung saja itu tidak terjadi. Syukurlah.
Awal-awal mengulek bahan skripsi saya lakukan semenjak semester enam. Saya mencari referensi-referensi skripsi yang ada di internet. Ratusan skripsi, saya unduh dan baca. Alhamdulillah, akhirnya, saya muntah juga. Kemudian, saya tinggalkan!
Memasuki awal semester sembilan—karena tuntutan membuat proposal skripsi—akhirnya saya lahap kembali data-data yang sudah saya unduh dua tahun lalu itu. Ah, rasanya makin muak saja meskipun proposal skripsi bisa saya rampungkan juga.
Akhirnya, berlanjut ke penyusunan skripsi. Ternyata ini lebih memuakkan lagi. Sungguh luar biasa. Buku-buku referensi harus saya cari dan baca lagi. Padahal, saya takpunya uang sepeser pun. Untung sebelumnya saya berinisiatif membuat judul skripsi yang sudah pernah dibuat oleh kakak tingkat saya. Jadi, ya, bukunya saya bungkus saja dalam karung. Selain itu, objek (buku) yang saya kaji adalah buku kumpulan cerpen sahabat saya. Jadi, saya bisa berdialog juga dengan penulis bukunya, serta dengan mudah meminta izin untuk mencacah-cacah bukunya yang buruk itu. Haha… (Sorry Om Nidu).
Coretan pertama skripsi saya lumayan. Lumayan bikin kepala migran. Apalagi kata dosen pembimbing, saya harus punya buku referensi khusus mengenai judul skripsi saya itu. Jika tidak, lebih baik mengganti judul. Wah, otak saya semakin ngebus. Sudah satu minggu saya mencari keberadaan buku referensi itu. Tapi, hasilnya nihil. Sial, akhirnya, terpaksa saya harus mengganti judul dan membuat latar belakang lagi. Dengan semangat empat lima, saya mengobrak-abrik latar belakang. Dan… jadi. Alhmadulillah, masih dicoret-coret juga sama dosen pembimbing. Saya melihat kawan yang lain sudah menjelang bab empat. Sedangkan saya, masih di tempat. Saya sempat down. Ditambah lagi dosen pembimbing yang keluar kota selama satu bulan. Jadi, selama itu saya tidak bimbingan. Saya stres setengah mati. Akhirnya, saya melakukan apa pun untuk melupakan skrispsi itu. Namun, tetap saja tidak bisa. Selama saya masih hidup, setiap kali bertemu dengan kawan-kawan, takada pembicaraan lain selain “sudah bab berapa skripsimu?” Saya hanya bisa menggigit jari. Tidak hanya itu, setiap kali saya pulang ke rumah, maka siap-siap saya menutup telinga karena pasti akan ada serangan bertubi-tubi dari emak dan bapak. Di mana kamu berpijak, di situ skripsimu dipertanyakan!
Saya malah semakin tidak semangat. Semua desakan itu saya keluarkan lagi lewat telinga kiri. Iseng-iseng saya bermain ke perpustakaan. Ada sosok Budi Hermawan, kawan saya yang paling pendiam di kampus, sedang membuat bab empat skripsinya. Anjrit! Masak saya kalah oleh dia. Saya belum apa-apa. Setiap kali saya ke perpustakaan, saya akan selalu berhadapan dengan Budi Hermawan. Saya tidak sanggup! Lebih baik saya kerjakan di rumah. Dengan desakan yang superdahsyat saya mampu menyelesaikan bab empat sampai bab lima yang berjumlah lebih dari lima puluh halaman dalam sehari. Keesokan hari, dosen pembimbing hanya memberi tanda tangan bahwa saya boleh ikut sidang. Yes! Akhirnya, saya berhasil juga.
Eits, ternyata belum. Sidang lebih deg-degan dibanding bimbingan. Beberapa kali saya masuk-keluar kamar mandi. Dari delapan peserta sidang, saya laki-laki sendiri. Jadi, terpaksa dengan kelelakian saya, akhirnya, saya dipanggil sebagai peserta sidang pertama. Rasanya sama saja kayak nembak perempuan. Laptop sudah saya siapkan. Infokus sudah menyala. Ketiga penguji mulai membuka hardcopy skripsi saya.
“Kok, belum ada tanda tangan pembimbing kedua?”
“Kemarin belum sempat Pak, beliau sedang keluar kota.”
“Silakan keluar, dan jangan ikut sidang!”
Ups! Wajah saya mendadak pucat. Darah di sekujur tubuh rasanya berhenti. Mereka (para penguji sidang) mengusir saya dari ruangan.
“Kok, kamu cepet banget, sih!” ujar teman saya.
Saya takbisa menjawab apa-apa. Kemudian, salah seorang dosen mengomeli saya habis-habisan. Akhirnya, kawan-kawan saya tahu permasalahannya. Saya menelepon pembimbing kedua untuk meminta izin saya ikut sidang. Takada jawaban darinya. Tiba-tiba ia membalas melalui pesan, saya sedang seminar. Alamak, bagaimana nasib saya hari ini. Saya tetap di tempat, menunggu kabar yang takpasti. Sampai akhirnya, ketua prodi datang dan berkata, “Silakan ikut sidang, saya yang bertanggung jawab.” Malaikat penolong datang juga. Saya pun ikut sidang, tetapi diurutan terakhir. Pembataian pun dimulai. Semua pertanyaan dari dosen penguji taksatu pun dapat saya jawab dengan benar. Keringat bercucuran di sekujur tubuh. Rasanya ingin cepat-cepat keluar. Saya hanya bisa mengangguk dari saran-saran penguji sidang. Detik-detik membuka pintu keluar black roompun sudah di depan mata. Saya seperti keluar dari penjara. Ploong!
Ternyata, belum cukup sampai di sini penderitaan saya. Setelah sidang, saya harus merevisi skripsi dan meminta tanda tangan pengesahan dari dosen penguji. Ini juga jadi petaka dadakan. Waktu itu, pagi-pagi saya datang ke ruang dosen penguji.
“Mau apa?”
“Minta tanda tangan, Pak.”
“Enak saja kamu, pagi-pagi begini kamu mau minta tanda tangan. Saya belum sarapan ini. Sana beli makan dulu!”
Ampun, pagi-pagi sudah dikerjain seperti ini. Saya keluar untuk membeli sebungkus makanan. Saya pun kembali ke ruangan
“Kamu mau minta tanda tangan? ke penguji yang lain saja dulu, yah, saya mau makan dulu.”
Saya menelan ludah, kepala saya seketika mengeluarkan asap, sambil berkata, “Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir!”

Selasa, 03 September 2019

sulitnya menjadi mahasiswa pertanian

Hasil gambar untuk kegalauan mahasiswa tingkat akhir


Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada sidang terbuka acara Dies Natalis IPB yang ke-54. Di dalam sambutan itu presiden menyebutkan bahwa banyak lulusan pertanian (mungkin ditujukan untuk lulusan IPB) yang bekerja di bank. Hal tersebut sepertinya telah menyentil berbagai banyak pihak, khususnya lulusan pertanian di luar IPB yang nggak bekerja di dunia pertanian. Banyak pula para alumni yang akhirnya buka suara dan menyampaikan pendapat mereka. Ada yang secara lapang dada minta maaf karena belum bisa berkontribusi di pertanian, adapula yang berujung menuntut sistem pemerintahan yang ada.

Disini saya gak akan ngebahas lebih panjang lagi tentang sambutan tersebut, kali ini saya akan bercerita bagaimana tentang kuliah di fakultas pertanian yang menurut kebanyakan orang kuiah pertanian itu gampang segampang maen game super mario, apalagi pandangan orang-orang di desa yang menganggap gak ada guna nya kuliah di pertanian, "bgapain siih kuliah kok d pertanian??, mending sini bapak ajarin aja daripada kuliah mahal-mahal" itu kata-kata yang sering saya dengr setip pulang kampung. haddeehh tak semudah itu ferguso.

oke kali ini Saya lebih ingin berbagi tentang bagaimana pengalaman saya saat dulu (agak terpaksa) mengenyam di bangku kuliah di bidang pertanian.

Hasil gambar untuk kegalauan mahasiswa tingkat akhir

1. Awalnya berpikir “Alah paling kuliahnya gampang. Segampang main game

Keberanian buat mengenyam pendidikan di bidang pertanian semakin dikuatkan dengan pengalaman mengelola tanah pertanian secara virtual di Harvest Moon. Dari sekolah dasar sampai sekarang (iya sampai sekarang tahun 2019) saya tetap setia dengan game penuh kenangan itu. Ternyata setelah dijalani, kuliah di pertanian itu nggak segampang main Harvest Moon. Jika di Harvest Moon hanya membutuhkan waktu tujuh hari dari menebar benih jagung sampai panen, di dunia nyata butuh enam bulan. Di dalam game juga tinggal disiram aja tiap hari. Kalau pas lagi males nyiram dan panen, tinggal minta tolong ke peri aja dengan modal satu kotak tepung.

Kebosanan kuliah sudah saya rasakan di akhir tahun pertama kuliah. Mata kuliah yang berhubungan dengan teknis-teknis pertanian seperti budidaya tanaman semusim, pengelolaan air, rancangan percobaan, dan yang lainnya, saya jalani dengan sepenuh hati. Sedangkan mata kuliah yang ada hubungannya dengan komunikasi seperti fotografi pertanian, audio-video hingga jurnalistik pertanian, saya jalani dengan penuh euforia. Bahkan untuk skripsi, saya juga agak nyeleneh dan berbeda dengan kebanyakan orang. Jika yang lain berlomba meneliti kelompok tani, saya justru lebih tertarik dengan blog.

2. Kuliahnya sulit, pas udah lulus juga sulit untuk mencari pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian

Iya, iya, kamu pasti gemes pengin bilang, “Kalau mau gampang, ya nggak usah kuliah!” Tapi sebelum ngomong seperti itu, coba deh rasain selama hampir 3 jam duduk dan mengikuti kuliah dengan tema Rancangan Percobaan Pertanian atau Fisiologi Tumbuhan :’) Apalagi mata kuliah yang lainnya kemungkinan besar nggak kamu butuhkan untuk lulus atau pas bekerja nanti.
Inti dari tulisan ini sekadar ingin mengajakmu kembali main Harvest Moon lagi. Biar bisa mengenang kembali masa-masa kejayaan PS1 semasa SD dulu.  Hahahaha nggak ding! Intinya mau berbagi aja kalau kuliah di pertanian itu sulit. Plus cari kerjanya juga sulit. Jadi jika hanya mengandalkan selembar ijazah tanpa skill yang lain, bisa jadi sulitnya cari kerjaan juga semakin menjadi-jadi.