Mahasiswa yang sudah lulus, barangkali pernah merasakan
bagaimana “indahnya” menjadi mahasiswa tingkat akhir. Seperti yang juga pernah
saya rasakan. Mungkin ocehan saya dapat mewakili kawan-kawan di luar sana yang
taksanggup menuliskannya.
Pernah
mendengar slogan Tuhan Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir? Sepertinya
slogan semacam ini sudah mewabah ke seantero kampus. Bahkan orang-orang sampai
membuat t-shirt yang
berisi slogan tersebut. Sungguh luar biasa memang tingkat kegalauan mahasiswa
tingkat akhir ini.
Membuat
skripsi seperti membuat bolu. Harus dikasih adonan, telur, minyak, terigu,
gula, dan sebagainya. Kalau sampai gagal memasukkan salah satu unsur adonan
itu, kue bolu akan hancur. Begitu juga dengan skripsi. Tanda baca, referensi
buku, tata kalimat, ejaan, harus sesuai dengan ketentuan. Jika tidak,
siap-siaplah menghadapi pembantaian para dosen. Salah satu korban dari sekian
banyak orang itu adalah saya. Hampir saja saya putus asa menggantung diri di
pohon toge. Untung saja itu tidak terjadi. Syukurlah.
Awal-awal
mengulek bahan skripsi saya lakukan semenjak semester enam. Saya mencari
referensi-referensi skripsi yang ada di internet. Ratusan skripsi, saya unduh
dan baca. Alhamdulillah, akhirnya, saya muntah juga. Kemudian, saya tinggalkan!
Memasuki
awal semester sembilan—karena tuntutan membuat proposal skripsi—akhirnya saya
lahap kembali data-data yang sudah saya unduh dua tahun lalu itu. Ah, rasanya
makin muak saja meskipun proposal skripsi bisa saya rampungkan juga.
Akhirnya,
berlanjut ke penyusunan skripsi. Ternyata ini lebih memuakkan lagi. Sungguh
luar biasa. Buku-buku referensi harus saya cari dan baca lagi. Padahal, saya
takpunya uang sepeser pun. Untung sebelumnya saya berinisiatif membuat judul
skripsi yang sudah pernah dibuat oleh kakak tingkat saya. Jadi, ya, bukunya
saya bungkus saja dalam karung. Selain itu, objek (buku) yang saya kaji adalah
buku kumpulan cerpen sahabat saya. Jadi, saya bisa berdialog juga dengan
penulis bukunya, serta dengan mudah meminta izin untuk mencacah-cacah bukunya
yang buruk itu. Haha… (Sorry Om Nidu).
Coretan
pertama skripsi saya lumayan. Lumayan bikin kepala migran. Apalagi kata dosen
pembimbing, saya harus punya buku referensi khusus mengenai judul skripsi saya
itu. Jika tidak, lebih baik mengganti judul. Wah, otak saya semakin ngebus.
Sudah satu minggu saya mencari keberadaan buku referensi itu. Tapi, hasilnya
nihil. Sial, akhirnya, terpaksa saya harus mengganti judul dan membuat latar
belakang lagi. Dengan semangat empat lima, saya mengobrak-abrik latar belakang.
Dan… jadi. Alhmadulillah, masih dicoret-coret juga sama dosen pembimbing. Saya
melihat kawan yang lain sudah menjelang bab empat. Sedangkan saya, masih di
tempat. Saya sempat down. Ditambah lagi dosen pembimbing yang keluar
kota selama satu bulan. Jadi, selama itu saya tidak bimbingan. Saya stres
setengah mati. Akhirnya, saya melakukan apa pun untuk melupakan skrispsi itu.
Namun, tetap saja tidak bisa. Selama saya masih hidup, setiap kali bertemu
dengan kawan-kawan, takada pembicaraan lain selain “sudah bab berapa
skripsimu?” Saya hanya bisa menggigit jari. Tidak hanya itu, setiap kali saya
pulang ke rumah, maka siap-siap saya menutup telinga karena pasti akan ada
serangan bertubi-tubi dari emak dan bapak. Di mana kamu berpijak, di situ
skripsimu dipertanyakan!
Saya
malah semakin tidak semangat. Semua desakan itu saya keluarkan lagi lewat
telinga kiri. Iseng-iseng saya bermain ke perpustakaan. Ada sosok Budi
Hermawan, kawan saya yang paling pendiam di kampus, sedang membuat bab empat
skripsinya. Anjrit! Masak saya kalah oleh dia. Saya belum apa-apa. Setiap kali
saya ke perpustakaan, saya akan selalu berhadapan dengan Budi Hermawan. Saya
tidak sanggup! Lebih baik saya kerjakan di rumah. Dengan desakan yang
superdahsyat saya mampu menyelesaikan bab empat sampai bab lima yang berjumlah
lebih dari lima puluh halaman dalam sehari. Keesokan hari, dosen pembimbing
hanya memberi tanda tangan bahwa saya boleh ikut sidang. Yes! Akhirnya,
saya berhasil juga.
Eits, ternyata belum. Sidang lebih deg-degan dibanding bimbingan.
Beberapa kali saya masuk-keluar kamar mandi. Dari delapan peserta sidang, saya
laki-laki sendiri. Jadi, terpaksa dengan kelelakian saya, akhirnya, saya
dipanggil sebagai peserta sidang pertama. Rasanya sama saja kayak nembak perempuan.
Laptop sudah saya siapkan. Infokus sudah menyala. Ketiga penguji mulai
membuka hardcopy skripsi
saya.
“Kok,
belum ada tanda tangan pembimbing kedua?”
“Kemarin
belum sempat Pak, beliau sedang keluar kota.”
“Silakan
keluar, dan jangan ikut sidang!”
Ups! Wajah saya mendadak pucat. Darah di sekujur tubuh rasanya
berhenti. Mereka (para penguji sidang) mengusir saya dari ruangan.
“Kok,
kamu cepet banget, sih!” ujar teman saya.
Saya
takbisa menjawab apa-apa. Kemudian, salah seorang dosen mengomeli saya
habis-habisan. Akhirnya, kawan-kawan saya tahu permasalahannya. Saya menelepon
pembimbing kedua untuk meminta izin saya ikut sidang. Takada jawaban darinya.
Tiba-tiba ia membalas melalui pesan, saya sedang seminar. Alamak, bagaimana
nasib saya hari ini. Saya tetap di tempat, menunggu kabar yang takpasti. Sampai
akhirnya, ketua prodi datang dan berkata, “Silakan ikut sidang, saya yang
bertanggung jawab.” Malaikat penolong datang juga. Saya pun ikut sidang, tetapi
diurutan terakhir. Pembataian pun dimulai. Semua pertanyaan dari dosen penguji
taksatu pun dapat saya jawab dengan benar. Keringat bercucuran di sekujur
tubuh. Rasanya ingin cepat-cepat keluar. Saya hanya bisa mengangguk dari
saran-saran penguji sidang. Detik-detik membuka pintu keluar black roompun
sudah di depan mata. Saya seperti keluar dari penjara. Ploong!
Ternyata,
belum cukup sampai di sini penderitaan saya. Setelah sidang, saya harus
merevisi skripsi dan meminta tanda tangan pengesahan dari dosen penguji. Ini
juga jadi petaka dadakan. Waktu itu, pagi-pagi saya datang ke ruang dosen
penguji.
“Mau
apa?”
“Minta
tanda tangan, Pak.”
“Enak
saja kamu, pagi-pagi begini kamu mau minta tanda tangan. Saya belum sarapan
ini. Sana beli makan dulu!”
Ampun,
pagi-pagi sudah dikerjain seperti ini. Saya keluar untuk membeli sebungkus
makanan. Saya pun kembali ke ruangan
“Kamu
mau minta tanda tangan? ke penguji yang lain saja dulu, yah, saya mau makan
dulu.”
Saya
menelan ludah, kepala saya seketika mengeluarkan asap, sambil berkata, “Tuhan
Bersama Mahasiswa Tingkat Akhir!”